Islamedia - Sebagian kalangan telah berlebihan dalam memberikan label bid’ah dan haram. Bagi mereka, kebenaran hanya satu yaitu ada pada mereka, tinggal pilih; ikut mereka atau ikut yang yang lain (baca: ahli bid’ah).
Itu semua hanya karena perbedaan dalam memahami sesuatu yang bukan prinsip agama (ushul), namun disikapi seperti lakum diinukum wa liyadin. Seakan tidak ada ruang untuk berbeda pendapat.
Mereka melarang-larang manusia taqlid kepada Al Banna, Al Qaradhawy, Sayyid Quthb, Al Ghazaly, namun sayangnya, tanpa disadari mereka justru mengajak manusia selalu meng-aminkan dan ikut buta terhadap apa yang mereka pahami.
Mereka berlapang dada ketika Syaikh bin Bazz berbeda pendapat dengan Syaikh al Albany dalam masalah meletakkan tangan di dada ketika berdiri setelah ruku (i’tidal); Syaikh bin Bazz menyebutnya sunah sedangkan Syaikh al Albany membid’ahkannya , masalah perhiasan emas melingkar pada wanita, Syaikh bin Bazz menyatakan halal sebagaimana pandangan jumhur bahkan ijma’, sementara Syaikh al Albany mengharamkannya. Masih banyak perbedaan lainnya antara dua Syaikh ini, yang dimaklumi oleh pengikutnya sebagai ikhtilaf biasa.
Namun, kenapa mereka tidak mau terima ketika Syaikh bin Bazz berbeda dengan Syaikh al Qaradhawy dalam masalah perdamaian dengan Israel pada medio 90-an, mereka menyalahkan Al Qaradhawy.
Masalah lain, Al Qaradhawy membolehkan zakat dengan nilainya (uang) sebagaimana pandangan Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu dari kalangan sahabat. Lalu mereka menyalahkannya lagi karena berbeda dengan Syaikh bin Bazz, Syaikh Shalih Fauzan dan lain-lain yang melarangnya, sebagaimana pandangan Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad yang melarang mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).
Atau perbedaan Syaikh al Albany dengan jumhur (mayoritas) ulama, Syaikh al Albany menyatakan wajibnya bagi penduduk Jalur Gaza keluar (hijrah) jika mereka tidak mampu melawan Israel, ada pun jumhur berpendapat jika tidak mampu maka penduduk sekitarnya harus membantunya, jika tidak mampu juga, negara tetangga harus membantu, dan seterusnya. Namun mereka membela mati-matian pendapat Syaikh al Albany tersebut, termasuk pembelaan Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh. Seandainya, manusia tidak sefanatis itu niscaya lebih baik akhirnya.
Masalah lain, Al Qaradhawy membolehkan zakat dengan nilainya (uang) sebagaimana pandangan Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu dari kalangan sahabat. Lalu mereka menyalahkannya lagi karena berbeda dengan Syaikh bin Bazz, Syaikh Shalih Fauzan dan lain-lain yang melarangnya, sebagaimana pandangan Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad yang melarang mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).
Atau perbedaan Syaikh al Albany dengan jumhur (mayoritas) ulama, Syaikh al Albany menyatakan wajibnya bagi penduduk Jalur Gaza keluar (hijrah) jika mereka tidak mampu melawan Israel, ada pun jumhur berpendapat jika tidak mampu maka penduduk sekitarnya harus membantunya, jika tidak mampu juga, negara tetangga harus membantu, dan seterusnya. Namun mereka membela mati-matian pendapat Syaikh al Albany tersebut, termasuk pembelaan Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh. Seandainya, manusia tidak sefanatis itu niscaya lebih baik akhirnya.
Intinya, mereka bisa toleran dan dewasa jika perbedaan itu terjadi pada sesama Syaikh-Syaikh mereka (dan Syaikh-Syaikh tersebut adalah Syaikh bagi kita semua, bukan hanya bagi mereka). Anehnya, mereka gagal untuk berlapang dada jika perbedaannya antara Syaikh-Syaikh tersebut dengan Syaikh-Syaikh yang lain. Maunya, semua harus ikut dan sama dengan kemauan mereka.
Termasuk dalam masalah legalitas partai politik; bid’ah, haram, ataukah boleh? Ini seharusnya disikapi sebagaimana perbedaan furu’ lainnya. Masing-masing ulama berhak berijtihad terhadap masalah ini. Tidak boleh memaksakan pendapat terhadap yang lainnya. Satu sama lain seharusnya mengingat bahwa seandainya pendapatnya salah, Allah ‘Azza wa Jalla hargai dengan satu pahala, jika benar dua pahala. Allah Jalla wa ‘ Ala masih menghargai kesalahan sebuah ijtihad dengan satu pahala, sementara manusia –anehnya- justru ‘menghargai’ kesalahan ijtihad dengan tuduhan dan vonis sesat. Wallahul Musta’an!
Bid’ahkah Partai Politik?
Ada baiknya kita memahami dengan baik tentang bid’ah, sebab kesalahan definisi membawa kesalahan dalam sikap.
Secara bahasa, bid’ah adalah Ma uhditsa ‘ala ghairi mitsal sabiq (Hal baru yang dibuat tidak memiliki contoh sebelumnya) (Al Munjid fil Lughah wa A’lam, hal. 29) sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu’Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang membuat hal-hal baru (man ahdatsa) dalam urusan kami (Islam) yang bukan darinya, maka ia tertolak.” (HR. Muttafaq ‘Alaih, Riyadhus shalihin. No. 169, Maktabatul Iman)
Secara syariat, sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bid’ah adalah apa yang tidak disyariatkan Allah dan RasulNya; yaitu apa yang tidak diperintahkan untuk berbuat dan beramal dengannya, tidak perintah wajib, tidak pula sunnah. (Majmu’ al Fatawa, 4/107-108)
Syaikhul Islam juga berkata, “Bid’ah adalah apa-apa yang menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ umat pendahulu, berupa perkara i’tiqad dan ibadah-ibadah seperti perkataan khawarij, rafidhah, qadariyah, jahmiyah, dan orang-orang yang beribadah dengan menari, bermusik di dalam mesjid (camkan ini, wahai para munsyid! –pen), beribadah dengan cara mencukur jenggot, memakan tanaman yang memabukkan. Seluruhnya adalah perkara bid’ah yang dijadikan sebagai sarana untuk beribadah oleh sekelompok orang yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah.” (Ibid, 18/346)
Dari uraian singkat di atas, bisa kita pahami, bahwa bid’ah yang terlarang dalam Islam adalah perbuatan yang baru dalam perkara agama seperti aqidah dan ritual ibadah, yang belum ada contoh sebelumnya dalam Al Qur’an dan As Sunnah, baik terhukum wajib atau sunah.
Arti lainnya, bid’ah adalah ritual yang disisipkan kedalam Islam, padahal bukan dari Islam. Maka, inovasi dalam urusan dunia bukanlah bid’ah dalam syariat yang statusnya terlarang. Justru dalam urusan dunia yang selalu berkembang dan fleksibel, Islam memberikan keluasan dan keluwesan, kecuali ditemukan dalil pelarangannya.
Nah, partai politik bukanlah urusan aqidah dan ritual ibadah, ia hanyalah sarana dunia bagi manusia untuk berserikat dan berkumpul, sebagaimana perkumpulan lainnya. Partai politik adalah bid’ah, yaitu bid’ah dalam artian lughah (bahasa) sebab memang ia adalah baru, sebagaimana yayasan, lasykar jihad, kelompok diskusi, lembaga fatwa, klub sepak bola, darma wanita, pramuka, organisasi, dan lain-lain.
Semuanya bid’ah (baru) karena belum ada pada masa Rasulullah dan tiga generasi terbaik setelahnya, Yang membedakan hanyalah ruang lingkup kerjanya, selebihnya sama yaitu sama-sama wadah kumpulan manusia.. Rasulullah dan generasi terbaik belum pernah mendirikan yayasan untuk da’wahnya, tidak pernah pula mendirikan Hai’ah Kibaril Ulama untuk menelurkan fatwa, atau membuat website untuk menyebarkan fikrahnya, namun itu semua bukan bid’ah dalam perkara agama yang terlarang.
Arti lainnya, bid’ah adalah ritual yang disisipkan kedalam Islam, padahal bukan dari Islam. Maka, inovasi dalam urusan dunia bukanlah bid’ah dalam syariat yang statusnya terlarang. Justru dalam urusan dunia yang selalu berkembang dan fleksibel, Islam memberikan keluasan dan keluwesan, kecuali ditemukan dalil pelarangannya.
Nah, partai politik bukanlah urusan aqidah dan ritual ibadah, ia hanyalah sarana dunia bagi manusia untuk berserikat dan berkumpul, sebagaimana perkumpulan lainnya. Partai politik adalah bid’ah, yaitu bid’ah dalam artian lughah (bahasa) sebab memang ia adalah baru, sebagaimana yayasan, lasykar jihad, kelompok diskusi, lembaga fatwa, klub sepak bola, darma wanita, pramuka, organisasi, dan lain-lain.
Semuanya bid’ah (baru) karena belum ada pada masa Rasulullah dan tiga generasi terbaik setelahnya, Yang membedakan hanyalah ruang lingkup kerjanya, selebihnya sama yaitu sama-sama wadah kumpulan manusia.. Rasulullah dan generasi terbaik belum pernah mendirikan yayasan untuk da’wahnya, tidak pernah pula mendirikan Hai’ah Kibaril Ulama untuk menelurkan fatwa, atau membuat website untuk menyebarkan fikrahnya, namun itu semua bukan bid’ah dalam perkara agama yang terlarang.
Syubhat wa rudud (syubhat dan bantahannya)
Ada beberapa alasan dan syubhat yang mereka hembuskan untuk menggugat keberadaan partai politik (berasaskan Islam). di antaranya karena Partai politik tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in. Partai politik membuat umat terpecah belah, dan memecah belah umat adalah haram. Partai politik merupakan tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir). Benarkah alasan-alasan ini?
Satu hal yang menjadi pertanyaan besar adalah kalau memang demikian buruknya partai politik, kenapa justru para ulama Indonesia sepakat mendirikan Partai Masyumi pada tahun 50-an? apakah mereka tidak tahu keburukan-keburukan tersebut? Ataukah keburukan-keburukan tersebut hanyalah asumsi atau bualan dari sekelompok orang zaman ini yang memang lebih suka mengoleksi kesalahan orang lain? Apa mungkin para ulama Indonesia masa itu (baik dari NU, Muhammdiyah, Persis, Muslimin Indonesia , Al Irsyad dan lain-lain) sepakat dalam kesesatan? Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jelas-jelas menegaskan bahwa umatnya tidak mungkin sepakat dalam kesesatan. Ataukah orang zaman ini merasa lebih tahu dan lebih tinggi ilmunya dibanding ulama pada masa itu? Padahal yang mengharamkan partai justru kalangan yang amat menjauh dari politik, artinya mereka bukan pemain langsung yang tidak mengetahui seluk beluknya. Wal hasil, pantaskah mereka memberikan fatwa haram dan bid’ah padahal mereka tidak tahu dengan utuh seluk beluknya?
Syubhat Pertama: Partai Politik tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, sahabat, dan salafushalih.
Ya. Partai politik tidak pernah didirikan oleh Rasulullah, sahabat dan generasi terbaik umat ini. Bahkan partai politik tidaklah kita temui dalam Al Qur’an dan Al Hadits, kitab ulama salaf dan khalaf.
Wacana partai politik baru ada awal abad dua puluh masehi. Namun, masalah partai –dan masalah perkumpulan manusia lainnya- juga bukanlah hal terlarang, sesuai kaidah syara’ , Kullu asya’ al ibahah illa ma warada ‘anis syari’ tahrimuhu (segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalilnya dari pembuat syariat yang ,melarangnya).
Inilah kaidah dalam menyikapi perkembangan kehidupan dunia. Maka, datangkanlah satu saja dalil dari Al Qur’an dan Al Hadits yang melarang keberadaannya. Selama belum ditemukan dalilnya, maka harus kembali ke hukum asal segala sesuatu (bara’atul ashliyah) yaitu boleh (mubah).
Berbeda halnya dengan perkara ibadah khusus, yang kaidahnya justru hukumnya haram jika tidak memiliki landasan dari Al Qur’an dan Al Hadits.
Wacana partai politik baru ada awal abad dua puluh masehi. Namun, masalah partai –dan masalah perkumpulan manusia lainnya- juga bukanlah hal terlarang, sesuai kaidah syara’ , Kullu asya’ al ibahah illa ma warada ‘anis syari’ tahrimuhu (segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalilnya dari pembuat syariat yang ,melarangnya).
Inilah kaidah dalam menyikapi perkembangan kehidupan dunia. Maka, datangkanlah satu saja dalil dari Al Qur’an dan Al Hadits yang melarang keberadaannya. Selama belum ditemukan dalilnya, maka harus kembali ke hukum asal segala sesuatu (bara’atul ashliyah) yaitu boleh (mubah).
Berbeda halnya dengan perkara ibadah khusus, yang kaidahnya justru hukumnya haram jika tidak memiliki landasan dari Al Qur’an dan Al Hadits.
Mereka mengatakan, ‘Bukankah parpol Islam didirikan untuk berdakwah? Berarti ia telah memasuki wilayah agama dan ibadah, bukan lagi urusan dunia semata yang hukum asalnya boleh, dan Rasulullah tidak pernah berdakwah dengan parpol’
Jawab: Ibadah ada dua macam, mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang juklak (petunjuk pelaksanaannya) sudah ada keterangannya ( baku ) dan manusia dilarang untuk menambah atau menguranginya, seperti shalat, puasa, zakat, haji, umrah. Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang juklaknya tidak disebutkan secara rinci, disesuaikan dengan tuntutan, kelapangan waktu, dan ‘urf (tradisi). Contohnya menyantuni anak yatim dan fakir miskin; adakah syariat memberikan panduan secara rinci? Tidak, syariat hanya memberikan rambu-rambunya saja, adapun rincian seperti berapa jumlah santunan, kepada siapa peruntukkannya, bagaimana cara memberikannya, apakah dengan bakti sosial atau sunatan massal, ataukah dibuat yayasan anak yatim dan fakir miskin, maka semua ini dikembalikan kepada keadaan si penyantunnya selama dilakukan secara ma’ruf. Tidak diingkari ini menjadi urusan agama, namun apakah lantas membid’ahkan dan mengharamkan keberadaan yayasan anak yatim dan fakir miskin karena Rasulullah tidak pernah menyantuni dengan cara mendirikan yayasan?
Contoh lain, anjuran bersilaturrahim yang juga ibadah ghairu mahdhah. Saat ini manusia bisa bersilaturrahim dengan telpon, SMS, surat , email, chatting, atau mendirikan wadah forum silaturrahim; tentu ini telah menjadi urusan agama; namun apakah lantas itu semua dilarang karena Rasulullah tidak pernah bersilaturrahim dengan cara-cara tersebut?
Begitu pula berdakwah. Ini bukanlah ritual khusus sebagaimana shalat, puasa, zakat, dan haji. Rasulullah pernah berdakwah melalui surat kepada penguasa Romawi dan Persia . Ia pernah berdakwah person to person (fardiyah) atau dengan memberikan pengarahan secara massal sebagaimana khutbahnya pada haji wada’. Intinya tidak ada aturan baku tentang strategi berdakwah; semua dikembalikan kepada ijtihad masing-masing du’at selama tidak bertentangan dengan dalil-dalil syariat yang jelas.
Maka berdakwah bisa melalui parpol, yayasan, karang taruna, kelompok diskusi, dan perkumpulan ma’ruf lainnya.
Adalah hal yang sangat aneh jika manusia melarang dan membid’ahkan parpol dakwah, padahal ada yang mendirikan yayasan untuk dakwah atau kelompok kajian ‘Forum Al Albany’ di UI. Jawab dengan jujur, apakah Rasulullah pernah menggunakan yayasan dan forum-forum untuk berdakwah? Pasti tidak, sebagaimana parpol. Lalu kenapa parpol dilarang, yang lain tidak? Bukankah ini menjadi perselisihan yang tidak fair? Kenapa selalu menyalahkan apa yang dilakukan orang lain hanya karena mereka berbeda dengan kita, padahal orang lain tidak pernah menyalahkan kita walau kita berbeda dengan mereka.
Maka berdakwah bisa melalui parpol, yayasan, karang taruna, kelompok diskusi, dan perkumpulan ma’ruf lainnya.
Adalah hal yang sangat aneh jika manusia melarang dan membid’ahkan parpol dakwah, padahal ada yang mendirikan yayasan untuk dakwah atau kelompok kajian ‘Forum Al Albany’ di UI. Jawab dengan jujur, apakah Rasulullah pernah menggunakan yayasan dan forum-forum untuk berdakwah? Pasti tidak, sebagaimana parpol. Lalu kenapa parpol dilarang, yang lain tidak? Bukankah ini menjadi perselisihan yang tidak fair? Kenapa selalu menyalahkan apa yang dilakukan orang lain hanya karena mereka berbeda dengan kita, padahal orang lain tidak pernah menyalahkan kita walau kita berbeda dengan mereka.
Syubhat Kedua: Parpol dapat memecah belah umat Islam.
Jawab: Justru orang-orang yang selalu menebar tuduhan, vonis, mencela dan memaki sesama muslim, merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas perpecahan umat. Adakah ini mereka sadari? Bahkan mereka pun berpecah belah dengan sesama mereka sendiri, saling menuduh, tabdi’, menuduh yang lain sururiyin, hizbiyin, dan lain-lain. Adakah mereka sadari bahwa mereka berbecah? Berarti keberadaan mereka seharusnya juga diharamkan, karena telah membecah barisan umat Islam.
Sesungguhnya, urusan perpecahan umat Islam sudah ada sejak lama, jauh sebelum lahirnya parpol. Pertentangan antar pengikut madzhab fikih, pertentangan antara NU dan Muhammadiyah, pertentangan antara The Jak Mania (pendukung Persija Jakarta) dengan The Viking (pendukung Persib Bandung). Lalu apakah adanya madzhab, ormas keagamaan, dan klub sepak bola harus diharamkan karena telah memecah belah barisan umat? Pahamilah dengan baik, ini semua bukan karena organisasinya, melainkan mentalitas dan moralitas manusia yang ada di dalamnya. Jika manusia tersebut bisa menjaga perasaan, menjaga lisan, memelihara akhlak Islam, dan toleran dengan perbedaan sepele, niscaya tidak akan ada perpecahan, walau berbeda ormas, kesebelasan, atau parpol.
Syubhat Ketiga: Parpol adalah tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir)
Jawab: Apakah yang dilakukan oleh orang kafir selalu salah (dalam urusan dunia)? Walau pun hal itu sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, karena ia berasal dari orang kafir, maka ia haram dan haram? Bagaimana dengan penggalian parit (khandaq) ketika perang ahzab pada masa Rasulullah ‘Alaihi Shalatu was Salam, padahal itu adalah caranya orang Persia yang majusi (penyembah api), atas usul Salman al Farisyi radhiallahu ‘anhu. Apakah Rasulullah menolaknya, karena itu adalah kebiasaan orang kafir?
Surat da’wah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada raja-raja pernah ditolak, lantaran tidak memakai stempel, akhirnya supaya surat diterima mereka, Rasulullah ‘Alaihi Shallatu was Salam juga ikut menggunakan stempel. Artinya, stempel adalah bukan kebiasaan umat Islam pada masa itu, melainkan dari orang kafir, tetapi Rasulullah tidak menolak untuk menggunakannya.
Dari Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, dikemukakan: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (pernah) memakai jubbatan rumiyatan (jubah ala Romawi) yang sempit kedua lengannya.” (HR. Imam Tirmidzi dalam Asy Syamailul Muhammadiyah no. 68)
Rasulullah memakai pakaian tersebut ketika perang Tabuk. Nah, apakah Anda berani memvonis, bahwa Rasulullah telah tasyabbuh bil kuffar, karena ia telah menggunakan jubah ala Romawi?
Zaman ini pun, telah banyak penemuan-penemuan yang diawali oleh orang kafir, namun umat Islam bahkan para ulama juga mengambil manfaat darinya. Adakah orang yang mengharamkan komputer, motor, mobil, dan pesawat? Padahal itu ditemukan oleh orang kafir semua? Adakah ulama yang mengharamkan Microsoft karena ia diciptakan oleh Bill Gates, yang nota bene kafir? Siapakah yang pertama kali menciptakan internet dan segala fasilitasnya? Bukankah orang kafir yang menemukannya? Semua aktivis Islam pasti memanfaatkan internet dalam da’wahnya, lantas apakah sesederhana itu menyebut pengguna internet telah tasyabbuh bil kuffar? Jawablah!
Pelajaran di sekolah-sekolah, biologi, kimia, fisika, walau tidak sedikit jasa ilmuwan muslim, namun tidak kita ingkari orang-orang kafir telah jauh mengembangkan itu semua dengan perkembangan yang mengagumkan sekaligus mengkhawatirkan. Nah, apakah Anda mengharamkan pelajaran Biologi, Fisika, dan Kimia, karena banyak penemuan modern dalam bidang-bidang tersebut yang dilakukan oleh orang kafir?
Jadi, tidak satu pun ketetapan syariat yang melarang mengambil kebaikan dari pemikiran teoritis dan pemecahan praktis non muslim dalam masalah dunia selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hokum yang tetap. Oleh karena hikmah adalah hak muslim yang hilang, sudah selayaknya kita merebutnya kembali. Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan –dengan sanad dhaif- sebuah kalimat, “Hikmah adalah harta dari seorang mu’min, maka kapan ia mendapatkannya, dialah yang paling berhak memilikinya.”
Meski sanadnya dhaif, kandungan pengertian hadits ini benar. Faktanya sudah lama kaum muslimin mengamalkan dan memanfaatkan ilmu dan hikmah yang terdapat pada umat lain. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah berkata, “Ilmu merupakan harta orang mu’min yang hilang, ambil-lah walau dari orang-orang musyrik.”
Islam hanya tidak membenarkan tindakan asal comot terhadap segala yang datang dari Barat tanpa ditimbang di atas dua pusaka yang adil, Al Qur’an dan As Sunnah. Perlu dipahami, parpol hanyalah sarana, ia bisa digunakan selama masih layak dan diizinkan keberadaannya oleh penguasa. Bila ternyata tidak layak dari sisi keefektifannya dan kondisi tidak mengizinkannya, maka bukan hal yang sulit bagi para da’i untuk meninggalkannya. Wallahu A’lam wa lillahil ‘Izzah
Ustadz Farid Nu'man
[islamedia]
Ustadz Farid Nu'man
[islamedia]
0 Response to "Dakwah via Partai Politik, Apakah Bid'ah?"
Post a Comment