Islamedia - Belajar sejarah bukan untuk romantisme belaka, melainkan sebagai pelajaran untuk melihat kedepan, “Layaknya spion dalam berkendaraan, yang sesekali dilirik untuk memastikan laju ke depan,” demikian Beggy Rizkiyansyah, narasumber kuliah Sekolah Pemikiran Islam (SPI) di semester kedua dalam pertemuan ke-6, yang berlangsung Hotel D’best Sofia, Jalan Tengku Angkasa no. 27.
Kajian yang dimoderatori oleh Yogi Gustaman ini membedah sejarah Indonesia dari sisi sikap masyarakat di beberapa daerah di Indonesia terhadap kebudayaan sendiri untuk menolak pengaruh, gagasan dari kaum pendatang di jaman Kolonial Belanda, yang disebut sebagai Nativisasi. Beggy yang juga merupakan pendiri dan pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), merangkum konsep nativisasi sebagai politik budaya kolonial.
“Mengapa penjajah mendorong nativisasi?”, merupakan pertanyaan yang muncul di slide awal kajian. Hal itu, menurut aktivis dalam komunitas yang berfokus pada kajian budaya ini, karena penjajah berusaha mencabut akar sebuah masyarakat dan kemudian memberi pemahaman baru kepada masyarakat tersebut.
Keaksaraan menjadi kekuatan utama penjajah dalam perjalanan kolonialisme dan misionarisme di Indonesia. Bahasa, menurut Beggy, berperan penting dalam menjalankan nativisasi yang dilakukan oleh kolonial Belanda, dalam rangka menurunkan pamor Bahasa Arab yang sudah menjadi salah satu akar masyarakat saat itu.
Di Tanah Batak misalnya, lanjut Beggy, seorang misionaris dari Rheinische Missionsgeseliesch (RMG), Ludwig Nommensen, mengajarkan aksara Batak sebagai pengganti aksara Arab yang saat itu berlaku. Selanjutnya, pada tahun 1908 didirikan Bataksch Instituut di Leiden.
Tidak sampai disitu, menurut Beggy, “Selain juga membangun Museum Orang Batak di Medan, juga membangun kesadaran bahwa Batak itu adalah kelompok tersendiri yang berada di pegunungan yang berbeda dengan masyarakat yang ada di pesisir, sedangkan masyarakat pesisir tersebut mayoritasnya Muslim.”
Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di tanah Jawa. “Pemerintah kolonial berusaha membuat identitas baru bagi orang Jawa yang pada saat itu sudah mulai mengenal bahkan menjalankan Islam, dengan cara memperkenalkan kembali kebudayaan Jawa kuno pra-Islam sebagai kebudayaan asli Jawa melalui penemuan Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang sudah terlupakan setelah delapan abad lamanya selain menghidupkan kembali aksara Jawa Kuno,” ujar Beggy.
Bali pun demikian, lanjut Beggy. “Sistem kasta yang sempat ditinggalkan oleh masyarakat Bali, dihidupkan kembali oleh kolonial dan membuat Bali selain sebagai miniature Hindu Pra-Islam juga sebagai surga di timur, bahkan sampai saat ini. Keberhasilan yang membuat mata dunia melihat bahwa Indonesia adalah hanya Bali dan Bali adalah Indonesia.”
Sebelum masuk dalam sesi tanya jawab, penulis yang beberapa karyanya telah dimuat di surat kabar Republika ini membuat kesimpulan bahwa bahasa, kekuasaan, pendidikan, reproduksi sastra dan budaya, dan juga penguasaan teknologi merupakan media untuk membungkam adat budaya Islam di Indonesia. [islamedia/maya/abe]
Kajian yang dimoderatori oleh Yogi Gustaman ini membedah sejarah Indonesia dari sisi sikap masyarakat di beberapa daerah di Indonesia terhadap kebudayaan sendiri untuk menolak pengaruh, gagasan dari kaum pendatang di jaman Kolonial Belanda, yang disebut sebagai Nativisasi. Beggy yang juga merupakan pendiri dan pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), merangkum konsep nativisasi sebagai politik budaya kolonial.
“Mengapa penjajah mendorong nativisasi?”, merupakan pertanyaan yang muncul di slide awal kajian. Hal itu, menurut aktivis dalam komunitas yang berfokus pada kajian budaya ini, karena penjajah berusaha mencabut akar sebuah masyarakat dan kemudian memberi pemahaman baru kepada masyarakat tersebut.
Keaksaraan menjadi kekuatan utama penjajah dalam perjalanan kolonialisme dan misionarisme di Indonesia. Bahasa, menurut Beggy, berperan penting dalam menjalankan nativisasi yang dilakukan oleh kolonial Belanda, dalam rangka menurunkan pamor Bahasa Arab yang sudah menjadi salah satu akar masyarakat saat itu.
Di Tanah Batak misalnya, lanjut Beggy, seorang misionaris dari Rheinische Missionsgeseliesch (RMG), Ludwig Nommensen, mengajarkan aksara Batak sebagai pengganti aksara Arab yang saat itu berlaku. Selanjutnya, pada tahun 1908 didirikan Bataksch Instituut di Leiden.
Tidak sampai disitu, menurut Beggy, “Selain juga membangun Museum Orang Batak di Medan, juga membangun kesadaran bahwa Batak itu adalah kelompok tersendiri yang berada di pegunungan yang berbeda dengan masyarakat yang ada di pesisir, sedangkan masyarakat pesisir tersebut mayoritasnya Muslim.”
Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di tanah Jawa. “Pemerintah kolonial berusaha membuat identitas baru bagi orang Jawa yang pada saat itu sudah mulai mengenal bahkan menjalankan Islam, dengan cara memperkenalkan kembali kebudayaan Jawa kuno pra-Islam sebagai kebudayaan asli Jawa melalui penemuan Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang sudah terlupakan setelah delapan abad lamanya selain menghidupkan kembali aksara Jawa Kuno,” ujar Beggy.
Bali pun demikian, lanjut Beggy. “Sistem kasta yang sempat ditinggalkan oleh masyarakat Bali, dihidupkan kembali oleh kolonial dan membuat Bali selain sebagai miniature Hindu Pra-Islam juga sebagai surga di timur, bahkan sampai saat ini. Keberhasilan yang membuat mata dunia melihat bahwa Indonesia adalah hanya Bali dan Bali adalah Indonesia.”
Sebelum masuk dalam sesi tanya jawab, penulis yang beberapa karyanya telah dimuat di surat kabar Republika ini membuat kesimpulan bahwa bahasa, kekuasaan, pendidikan, reproduksi sastra dan budaya, dan juga penguasaan teknologi merupakan media untuk membungkam adat budaya Islam di Indonesia. [islamedia/maya/abe]
0 Response to "Mengapa Penjajah Mendorong Nativisasi ?"
Post a Comment