Islamedia - ‘Abi, temanku dihukum’, kata si sulung sambil menyantap Mie Ayam kesukaannya. ‘Kenapa?’, tanyaku sesegera mungkin. Lalu mengalirlah ceritanya tentang kawannya. ‘Bapaknya itu begini dan begitu, bi’, jawabnya menggambarkan keketatan dan kekolotan. Ada juga kesan tak terperhatikan yang dititipkan si sulung, ada cerita tak boleh pegang HP, ada yang tak menuruti keinginan anak untuk memiliki motor dan beberapa hal lainnya.
Aku bisa saja mempolitisir situasi ini. Tetapi itu tak aku pilih. Aku mengajaknya berdialog. ‘Yang disebut mengekang itu apa to, nduk?’, tanyaku mengajaknya berpikir. ‘Apakah dengan tak membelikannya motor, lalu orangtua itu bisa disebut mengekang?’, serangku pada pikirannya. ‘Apa pertimbangan si bapak ketika tak mengijinkannya memiliki HP?’. Aku mengajaknya berpikir. Hampir setiap pertanyaanku dia jawab. Aku suka jawaban jawaban si sulung.
‘Nduk, apa saja bisa menjadi hal yang tak disukai. Aku bisa tak suka dengan hal hal kecilmu. Kamu juga bisa menjadikan hal hal kecilku menjadi hal besar untuk kemudian menjadikannya alas an untuk membenci orangtuamu ini. Setiap anak dan setiap orang bisa menjadikan sesuatu untuk membenci orang lain. Itu Cuma perlu tindakan sepihak dan sedikit kekerdilan hati, nduk’, kataku.
Seseorang bercerita dari pengalaman pasangannya yang banyak berhubungan dengan orangtua bermasalah. ‘Sekarang banyak orangtua yang bermasalah, pak’, katanya mantap. Lalu mengalirlah fakta fakta atau hal yang dia anggap fakta yang memperkuat kebobrokan orangtua dan penderitaan anak anak. Aku mengikutinya tanpa memotong. Dan saat dia merasa cukup, aku mengambil alih. ‘Apa saja bisa menjadi alasan untuk membuat anak tak menyukai orang tua dalam ukuran yang subyektif. Dengan tergesa gesa seorang anak bisa melontarkan alasan dalam pandangan subyektifnya. Dan –rasanya- kita harus terus adil. Rasanya sikap kita adalah terus menggali kebenaran data anak dan juga terus menelisik fakta dan data dari orangtua. Rasanya, sikap untuk ikut serta tergopoh gopoh menyetujui pandangan anak anak cuma akan memuaskan anak anak dan memuaskan kita. Mengapa memuaskan kita? Karena kita seperti tak bermasalah…’, aku melepaskan beban. ‘Kita harus tetap adil!’, tandasku. Ada perspektif kita dan ada perspektif anak anak. Saya tak ingin serta merta menyetujui sudut pandang anak anak dan saya berusaha untuk terus mengevaluasi diri.
Saya mengajari diri untuk tak merasa berhasil hanya karena orang lain gagal. Saya mengajari diri untuk tak menjadi seperti orangtua yang berhasil hanya karena kita mampu mengoleksi cerita kegagalan beberapa orangtua. Menurutku ini keberhasilan semu.
Tentu kita ingin menjadi ayah dan ibu dalam makna yang sebaik mungkin. Melahirkannya memang sudah memadai untuk menjadi ibu seorang manusia. Memberinya kebutuhan memang mungkin sudah cukup untuk disebut sebagai ayah. Menjaganya dan mendidiknya adalah sebagian dari beberapa hal minimal untuk bisa disebut menjadi ayah dan ibu yang baik. Tetapi itu semua dalam perspektif kita. Dalam perspektif ayah dan dalam perspektif ibu.
Bagaimana dalam perspektif anak anak kita?
Seiring dengan kedewasaan mereka, mereka jadi memiliki banyak wawasan tentang menjadi orangtua yang baik. Bahkan bukan tidak mungkin mereka sudah menetapkan beberapa hal yang mereka tekadkan tidak akan dilakukan saat mereka menjadi orangtua kelak. Mereka mungkin saja sudah memiliki pantangan berdasarkan pengalaman pengalaman yang mereka alami. Termasuk dari pengalamannya berinteraksi dengan kita yang orangtua mereka sendiri.
Mungkin mereka cuma malu dan segan untuk mengkritik kita secara langsung, tetapi mereka tak segan mengkritik orangtua yang lain. Bagi saya, mengkritik tindakan orangtua adalah hal bagus. Itu adalah hal bagus bagi mereka. Cuma harus diingat bahwa jika mereka mengkritisi tindakan orangtua lain, maka sejatinya mereka juga sedang mengkritisi tindakan orangtua mereka sendiri. Maka, tak layak membanggakan kritik mereka dan membuat kita seakan tak ada cacat dan kekurangan. Jangan tertipu, mereka cuma sedang bersikap hormat, segan dan malu atau bahkan takut mengkritisi tindakan kita. Itu hal bagus bagi mereka.
Tetapi cara ini potensial menjadi hal buruk bagi kita. Jika cuma menjadikan cerita dan kritik mereka kepada orangtua lain sebagai buaian dan pujian, saya berpandangan itu bukan hal bagus bagi kita.
Maka terus mengoreksi diri, terus belajar, dan terus cerdas membaca situasi adalah langkah yang menjamin keberhasilan sebagai orangtua. Sukses menjadi orangtua tanpa belajar, tanpa mekanisme koreksi diri, dan tanpa terus mengasah ketajaman hati adalah yang kita inginkan. Keinginan itu semacam dengan keinginan kita untuk sukses tanpa bekerja keras. Persoalannya, apakah jalan itu ada? Kalaupun ada, rasanya itu jalan istimewa. Dan kita masih boleh menempuh jalan biasa. Yaitu jalan belajar, introspeksi diri dan jalan mengasah bashiroh kita.
Kita juga tak harus terlalu merasa gagal jika itu masalahnya hanya sekadar tak bisa menjadi seperti orangtua lainnya.
Eko Novianto
Penulis Buku "Engkaulah Matahariku"
0 Response to "Menjadi Ayah Ibu Sukses"
Post a Comment